PENEGAKAN HUKUM DALAM PENDIRIAN BANGUNAN DI TANAH SEMPADAN PANTAI MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DITINGKAT REGIONAL
DOI:
https://doi.org/10.1234/jphgalunggung.v2i2.12Keywords:
Sempadan Pantai, Penegakan Hukum, Pembangunan BerkelanjutanAbstract
Undang-Undang Pokok Agraria menetapkan bahwa tanah harus dimanfaatkan sebagai fungsi sosial dan dijaga keberlanjutannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Salah satu langkah penting dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan adalah pengaturan tanah sempadan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sempadan pantai didefinisikan sebagai daerah daratan sepanjang tepi pantai dengan lebar minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Penetapan batas sempadan pantai disesuaikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan karakteristik topografi, biofisik, dan hidro-oseanografi pantai, serta mempertimbangkan kebutuhan ekonomi, budaya, dan perlindungan terhadap bencana alam seperti gempa, tsunami, erosi, abrasi, serta untuk melindungi ekosistem pesisir. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan teori, konsep, dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan, serta studi pustaka yang mencakup buku, catatan, dan laporan hasil penelitian sebelumnya untuk memperkuat analisisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku belum memberikan penegakan hukum yang tegas terhadap masyarakat yang membangun bangunan di wilayah tanah sempadan pantai, seperti yang terjadi di pantai Cipatujah, Batukaras di Jawa Barat, dan pantai Tanjung Bunga di Sulawesi Selatan. Untuk itu, Pemerintah Daerah setempat seyogyanya perlu mengubah fungsi tanah sempadan pantai yang sebelumnya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau bisnis, agar kemudian dikelola oleh Pemerintah Daerah setempat untuk membangun tempat usaha baru bagi masyarakat lokal di sektor pariwisata dan kuliner, dengan mempertimbangkan posisi garis sempadan terbaru yang telah ditetapkan.
References
Buku
Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011).
Jurnal
Anjiwani, P. K., “Pengaturan hukum terhadap privatisasi sempadan pantai oleh pengusaha pantai di provinsi Bali”. Analisis Pariwisata, vol. 16, no. 1, 2016.
Fauzan, dkk., “Penegakan Hukum terhadap Bangunan di Wilayah Pesisir Pantai Batukaras Kabupaten Pangandaran Dihubungkan dengan Kearifan Lokal”, Bandung Conference Series: Law Studies, Vol. 4 No. 1, 2024.
Rejekiningsih, T., “Asas fungsi sosial hak atas tanah pada negara hukum (Suatu tinjauan dari teori, yuridis, dan penerapannya di Indonesia)”, Jurnal Yustisia, Vol. 5 No. 2, 2016
Reki, N. D., “Pembatasan kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah dalam perspektif reforma agraria”, Jurnal Hukum Magnum Opus, Vol. 1 No. 1, 2018.
Reskiyanti, dkk,. “Tinjauan Batasan Sempadan Pantai Tanjung Bunga Sebagai Implementasi Undang-Undang No 1 Tahun 2014”, Sensistel, Vol. 1, No. 1, 2018.
Salvian, dkk., “Kepastian Hukum Atas Penerbitan Sertipikat Hak Pakai Bagi Pemilik Sebidang Tanah Yang Diperuntukkan Sebagai Sempadan Pantai”, Jurnal Education and Development, Vol. 8 No.2, 2020.
Suparmoko, “Konsep Pembangunan Berkelanjutan Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional Dan Regional” ,Jurnal Ekonomika dan Manajemen, Vol. 9 No. 1, 2020.
Yuwono, dkk., “Telaah Sosiologis Penyebab Pelanggaran Penguasaan Tanah Di Lingkungan Pesisir Di Kabupaten Lampung Selatan”, Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, Vol. 5, No. 2021.
Zainah, Z. O., “Penegakan hukum dalam masyarakat, Jurnal of Rural and Development, Vol. 3, No. 2, 2012.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.